Ingatan tentangmu kembali mencengkeram kekinian-ku.
Kamu
pernah bilang, ”senja” itu seperti sihir yang meredam semua gaduh, dan
membungkus ribuan jalinan kata untuk ditransformasikan menjadi hening.
Kemudian kamu betah berdiam diri menatap senja sembari duduk meringkuk
dimanapun.
Terlalu
rumit bagiku untuk memahami mengapa kamu begitu mengidolakan senja.
Merah saga yang menghantarkanmu pada gelap malam. Dan menjadi lebih
rumit lagi sekarang mengingat kamu dan aku berpisah justru saat senja
masih membayangi kita.
Hening
senja ini menyiksaku. Tubuhku kaku menatap mentari yang perlahan turun
dan menghilang. Rasanya aku tak siap mengggapai malam. Menghadapi gelap.
Sendirian. Beribu-ribu kilometer jauhnya dari genggaman tanganmu. Walau
jelas kupahami aku telah kehilangan genggaman tanganmu sejak dua belas
purnama yang lalu.
Perih.
Tapi kali ini kubiarkan diriku dikecup senja dengan penuh kerelaan.
Bahkan meminta supaya senja ini bersedia bertahan lebih lama. Apakah
pintaku ini terlalu berlebihan?
Apa
ini namanya rindu? Hingga aku begitu pasrah menerima perih yang
jelas-jelas menyiksa. Dan waktu? Kemanakah waktu? Apa ia menghilang?
Padahal jelas mereka bilang, waktu-lah pada akhirnya yang mampu
melunturkan luka, dan mengaburkan rindu.
Tak bisakah kita kembali saja?
*****
Aku
terpaku menatap layar monitor di hadapanku. Barisan kata yang
meluap-luap di kepalaku kini telah berpindah dalam sekejap ke hadapanku.
Aku menghela napas panjang, mataku memanas. Kembali aku menangis, meski
yang keluar dari sudut mataku hanya dua bulir air mata yang dengan
cepat kuseka...
Apa ini akan bertahan hingga selamanya?
Paling tidak kita mencobanya...
Tapi bagaimana jika tiba-tiba kita harus berpisah?
Apa sebenarnya yang kamu takutkan?
Entahlah... hanya saja untuk apa kita bersatu jika selalu ada kemungkinan bagi kita untuk terserak, terpisah dan meninggalkan sepi?
Ternyata
aku meminta waktu tak terhingga untuk kita. Padahal jelas, hanya Tuhan
yang mampu menjadi Yang Tak Terhingga. Dan apa mungkin kali ini memang
benar-benar telah habis masanya bagi kita? Kamu menjadi yang sempurna
dalam hempasan waktu yang berbatas.
Semua
yang berawal pada hakikatnya harus berakhir. Fakta yang tak pernah
kupahami maknanya hingga beberapa detik lalu. Aku (mencoba) belajar,
nyatanya ini memang bukan masalah bagaimana awal dan akhir, tapi ini
tentang sebuah proses. Mungkin Tuhan mencoba merengkuh kasihnya untukku
dengan menghamparkan sebuah episode pembelajaran : merasa dalam batas
dan juga berdamai dengan perih.
Aku
masih saja tenggelam dalam genangan cinta untukmu. Tapi aku meyakinkan
diri bahwa mungkin jarak ini dan perpisahan ini-lah yang akan
memperindah masa depan kita. Memperindah masa depan aku dan kamu. Meski
saat ini aku tak sanggup mendefinisikan apa itu masa depan. Namun paling
tidak, aku akan mencoba berdamai dengan perih ini.
Aku menimbang-nimbang untuk menekan tombol send untuk email yang baru saja kuketik untuk dirimu. Kulirik senjamu dengan mataku dan mendesahkan sebait kalimat ”Aku teramat rindu padamu...”
Aku mencoba menenun rindu ini dengan berteduh pada rimbun keikhlasan...
*****
I asked God, "Why do we fall in love and get into relationships when we know that it'll end sooner or later?"
God told me he would get back to me on that. But then he turned around and said, "First tell me why you live your life even though you know you're going to die sooner or later...?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar